Apakah detikers pernah mendengar istilah ‘Wellness’? Istilah ini mengacu pada kesehatan yang lengkap baik dari segi pikiran, hati, maupun kebugaran.
Secara definisi, wellness adalah kesejahteraan yang mencakup aspek mental, emosional, fisik, pekerjaan, intelektual, dan spiritual dari kehidupan seseorang. Dalam hal ini, setiap aspek kesehatan dapat memengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan, menurut keterangan di situs resmi University of Nebraska Omaha, Amerika Serikat.
Istilah wellness sendiri diciptakan oleh seorang dokter praktik pada 1950-an. Ini dikaitkan dengan kombinasi kesejahteraan dan kebugaran. Selama beberapa dekade, wellness jarang terlihat atau terdengar dalam lanskap budaya.
Baru pada tahun 1970-an, konsep ini menjadi berita utama dan dianggap penting sampai saat ini.
Gaya Hidup Menjadi Sebuah Sudut Pandang Kecerdasan
Seorang psikolog klinis di New York City, Lloyd Glauberman, Ph.D., mengatakan bahwa gaya hidup dengan mempertimbangkan wellness belum efektif penerapannya.
“Efektivitas konsep ini dalam memengaruhi perilaku gaya hidup ke arah positif masih lemah sebagaimana dibuktikan oleh proyeksi bahwa tingkat obesitas di negara ini (read. Amerika) diperkirakan akan mencapai 50% pada tahun 2030,” tulisnya dalam situsĀ Psychology Today.
Menurutnya, wellness dapat melakukan tugas dengan sangat baik dalam mendefinisikan inti kesehatan yakni makan, tidur, dan aktivitas fisik.
Sementara di masyarakat, masih kurang adanya pemahaman bahwa gaya hidup bukanlah sekumpulan perilaku individu, tetapi merupakan “kecerdasan” tersendiri, dengan ekosistem yang sangat penting.
Kecerdasan Emosional (EQ) dan Lifestyle Intelligence (LQ)
Kecerdasan gaya hidup yang memengaruhi kesejahteraan individu, mengingatkan akan pengenalan kecerdasan emosional (EQ) oleh psikolog Peter Salovey dan John Mayer yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam bukunya tahun 1995.
EQ merevolusi pemahaman tentang perilaku sosial dan emosional yang membingkainya sebagai bentuk kecerdasan yang penting untuk kesehatan mental.
Sementara itu, Glauberman memperkenalkan Lifestyle Intelligence (LQ), yang memberikan pendekatan ekosistem berbasis ilmiah untuk mengendalikan aspek-aspek penting dalam hidup.
LQ ini menawarkan kerangka untuk memahami bagaimana kita mengatur makan, tidur, dan aktivitas fisik.
Menurutnya, penting untuk merenungkan bagaimana banyak orang kini mulai kehilangan cara untuk mengatur makan, tidur, dan olahraga dengan baik. Padahal ketiganya sangat penting untuk menjaga kesadaran sensorik.
“Bayangkan pemrosesan data sensorik internal sebagai Badan Intelijen Pusat otak kita. Sistem pemantauan ini, yang memberikan informasi tentang apa yang terjadi kapan saja, mengandaikan bahwa kita menyesuaikan diri dengan saluran tersebut sehingga pikiran sadar kita dapat menerima siaran tersebut,” ucap Glauberman.
“Pada bayi, proses ini terjadi secara otomatis karena kognisi dan sensasi merupakan hal yang sama. Dengan demikian, bayi tidak pernah bingung apakah mereka lapar, lelah, atau perlu bergerak,” tambahnya.
Gaya Hidup Buruk Kerap Dimulai Sejak Remaja
Nyatanya, sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2018, mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak dan remaja merupakan variabel utama dalam mengembangkan kebiasaan gaya hidup buruk yang biasanya berlanjut hingga dewasa.
Parahnya, kebiasaan buruk tersebut pada akhirnya bisa meningkatkan risiko penyakit kronis, seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung, dan sebagainya.
Padahal, gaya hidup yang mengatur makan, gerak tubuh, hingga tidur sangatlah penting. Banyak orang cenderung merasa fisik kurang bugar, kurang motivasi, hingga mental kurang stabil.
Hal ini kemudian dikaitkan dengan gaya hidup yang diterapkan oleh masing-masing individu. Kasus-kasus tersebut, kebanyakan karena kurang olahraga.
“Perlu juga dicatat bahwa gerakan sangat penting untuk fungsi kognitif yang optimal. Data menunjukkan bahwa satu sesi olahraga ringan pun dapat memengaruhi proses penting yang berkaitan dengan keterampilan kognitif,” papar Glauberman.
LQ sebagai Gaya Hidup yang Cerdas
Menurut Glauberman, penting bagi kita untuk mengeksplorasi hubungan antara LQ dan dua bentuk kecerdasan, IQ dan EQ.
Sebab, eksplorasi itu bisa membentuk kesadaran yang penting untuk kebutuhan manusia setiap harinya. Misal, kesadaran tentang kurang tidur yang menyebabkan keterampilan pengaturan emosi kita menjadi kacau, sehingga meningkatkan kemarahan, kecemasan, dan depresi.
Jika tidak disadari, maka perubahan emosi negatif ini akan membatasi kemampuan kita untuk merasakan empati, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam menjalani hubungan yang penting.
Selain itu, motivasi, yang merupakan komponen utama EQ, menjadi lebih sulit dipertahankan karena berkurangnya energi.
“Intinya, kecerdasan gaya hidup (LQ) menawarkan pendekatan holistik terhadap hidup sehat, serupa dengan dampak EQ pada kehidupan sosial-emosional. Dengan mengintegrasikan unsur-unsur penting kesejahteraan ke dalam konsep terpadu, LQ berpotensi mengubah hasil kesehatan dan mendorong masyarakat yang berkembang,” tutur Glauberman.